Ramadhan Side #1: Tilawah atau Muroja’ah?
Hilmi
keluar dari kamar sambil membawa mushaf biru kesayangannya. Ramadhan hari kesepuluh, dan ia senang karena
rumah sudah kembali ramai dengan kecerewetan Nida yang baru pulang liburan. Tambahkan
kerusuhan Dzaki yang tiba-tiba menginap sejak semalam, rasa-rasanya ia akan
menghabiskan lima hari terakhirnya di rumah dengan menyenangkan.
Omong-omong,
di mana kedua tom and jerry itu sepagian ini? Hilmi melirik jam dinding
di ruang tengah saat sudah sampai di lantai bawah. Sudah pukul 9 lewat. Waktunya mereka setoran pagi setelah
tadarus sehabis subuh.
Harusnya
ia bisa menemukan Nida tertidur masih dengan mukena lengkap di sudut mushola,
atau Dzaki yang asik main game di sofa ruang tengah. Di mana mereka?
Hilmi mulai mencari keduanya di sekeliling rumah. Bunda dan Ayah sudah pergi
sehabis subuh untuk menemui rekan kerja Bunda di kota sebelah, hingga seluruh
aktivitas rumah sampai ashar sudah dialihtugaskan kepadanya.
Mereka
berdua jelas tidak ada di kamar, karena hanya ia yang naik ke lantai atas
setelah selesai tadarus. Ia berjalan menuju taman belakang. Matanya menangkap
dua pasang sandal yang berada di bawah tangga paviliun.
Alis
Hilmi terangkat sebelah. Paviliun? Really? Mau apa kedua santri akhir
Ruha itu setelah bebas dari pondok kemarin sore? Hilmi bergegas menuju paviliun
yang menjadi perpustakaan serta berfungsi sebagai markas besar mereka jika para
sepupu sedang berkumpul.
Tak
ada suara terdengar dari depan pintu. Nggak mungkin juga lagi pada asik baca, kan? Kalo Nida sih mungkin-mungkin
aja. Tapi Dzaki? Biang kerok satu itu kan nggak suka baca. Hilmi perlahan
membuka pintu dan menemukan pemandangan ajaib di sofa sudut.
Ujung
bibirnya berkedut melihat posisi adik dan sepupunya itu. Nida dan Dzaki tampak
serius menonton sesuatu di laptop, dengan earphone masing-masing satu di
sebelah telinga keduanya.
“Nid!
Gedein lagi volumenya. Masa musik latarnya lebih kenceng dari dialog? Nggak
kedengeran lagi ngobrolin apaan.”
“Berisik!
Emang begini file-nya. Udah paling gede ini suaranya. Dibilangin juga tadi pake
speaker aja malah ngeyel. Lagian di rumah cuma ada Bang Mi ini. Paling kalo
ketahuan, Bang Mi bakal nimbrung nonton,” omel Nida setelahnya.
“Lagi
pada nonton apaan sih? Nggak ngajak-ngajak lagi.” Suara Hilmi membuat Nida dan
Dzaki menyadari eksistensinya.
Keduanya
hanya memasang cengiran tak bersalah. Hilmi sudah sampai di dekat mereka dan
melihat apa yang sedang ditonton keduanya.
“Alif
Lam Mim? Serius, kalian baru nonton?” tanya Hilmi tak percaya. Film genre
action dengan tema konspirasi itu memang sedang hangat di kalangan anak-anak
santri. Angkatan 7 bahkan membuat nobar di rumah Akhyar tak lama setelah mereka
lulus.
“Biasa
aja kali kagetnya, Bang. Iya kita baru pada tahu malah. Nggak usah disamain
sama anak Sevareichen yang udah ‘melihat dunia luar’ sebulan lebih abis
lulus,” sahut Dzaki sebal yang disambut tawa kecil Hilmi.
“Eh,
udah pada dhuha, belom? Udah jam sembilan lewat ini. harusnya kita udah pada
duduk rapi di mushola buat setoran—“
Perkataan
Hilmi terhenti dengan gestur tangan Nida yang kembali asik menonton. “Tunggu,
Bang. Nanggung. Limabelas menit lagi.”
Begitu
saja lalu keduanya sibuk berkomentar tentang film yang ditonton. Nida memekik
ngeri melihat adegan dalam film, sedangkan Dzaki mengomel karena menurutnya plot
twist film itu sangat tak tertebak. Limabelas menit, dan keduanya
mengakhiri tontonan dengan jeritan frustrasi penuh sebal.
“What
was happened? Itu siapa? Alif kenapaaa?”
“Apa-apaan
nih! Itu bukan ending!”
“Dibilang
open ending aja nggak bisa. Entah deh, memang bakal ada sekuelnya kali
makanya akhirnya nge-gantung begitu,” ujar Hilmi menanggapi.
“Betewe,
kalian nonton yang versi extended bukan?” tanya Hilmi lagi.
“Emang
ada yang versi disensor?” Dzaki balik bertanya.
“Kalo
kalian paham semua ceritanya Lam, berarti itu versi extended.”
Melihat
tatapan penasaran bercampur dengan permohonan dari kedua mata di depannya,
Hilmi tahu kalau keduanya perlu menonton
ulang film dengan plot menantang itu sekali lagi.
“Sekarang
pada wudu dulu, sholat dhuha, terus setoran. Baru kita nonton ulang di lantai
atas.”
Tak
perlu diberitahu dua kali, keduanya sudah melesat pergi ke rumah utama. Hilmi
menunggu Nida dan Dzaki bersiap sambil mengulang halaman yang akan ia baca. Sebelum
jarum jam menunjukkan pukul sepuluh tepat, mereka sudah menyelesaikan agenda
setoran ziyadah hari ini.
Dzaki
bergegas ke kamarnya tanpa disuruh. Sedangkan Nida dan Hilmi menunggu Di balkon
lantai dua yang menghadap ke taman belakang.
“Bang
Mi tilawah mandiri juga, ya?” tanya Nida saat melihat abangnya itu sibuk
memeriksa ulang tanda di mushaf kesayangannya.
“Hmm?
Iya dek. Seenggaknya harus dapet tiga kali khatam selama puasa ini.”
“Muroja’ah
mandiri juga jalan?”
Hilmi
mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Nida. “Lah, yang barusan disetorin kan
termasuk muroja’ah mandiri?”
“Bukan
itu maksud Nida. Abang punya target harian muroja’ah mandiri kan? Di
luar yang disetorin tiap pagi?”
Hilmi
hanya mengangguk menanggapi.
“Sebenernya
buat penghafal Qur’an nih. Lebih penting muroja’ah atau tilawah sih?
Kalo pas ramadhan begini, apalagi dengan tuntutan mutaba’ah di pondok,
Nida ngerasa kayaknya tilawah itu ngeberatin deh. Bukannya kita lebih wajib
mengulang hafalan ya?”
Hilmi
membenarkan posisi duduknya lalu meletakkan mushaf di meja kopi di sudut
balkon.
“Dua-duanya
sama aja sebenernya. Sama-sama interaksi kita bareng Qur’an kan? Dan ya, dari
segi urgensi muroja’ah lebih penting dari tilawah. Tapi bukan berarti kita bisa
mengabaikan tilawah sama sekali. Tilawah itu tetap penting, toh sebelum mulai
ngafal halaman baru kita pasti tetep baca dulu kan? Nggak langsung ngafalin
gitu aja?”
“Kalau
Muroja’ah berfungsi membantu kita fokus mengulang hafalan yang kita punya,
tilawah bisa ngebantu kita untuk lebih familiar sama halaman-halaman yang belum
kita hafal. Kalo buat yang udah khataman kayak abang, tilawah ngebantu
banget buat muroja’ah mandiri dengan waktu yang terbatas. Karena nggak semua
orang bisa baca 5 juz tiap hari dan khataman tiap minggu, tilawah membantu
ngejaga hafalan Al-Quran walau nggak bener-bener ngebaca lewat hafalan.”
“Menurut
abang, tilawah dan muroja’ah itu sama-sama penting sih. Jadi
paling nggak kita harus punya target harian mandiri buat keduanya.”
Penjelasan
panjang lebar Hilmi membuat Nida mengangguk mengerti. Adiknya itu tampak
menuliskan sesuatu pada post it yang ada di mushafnya.
“Betewe,
Nid. Tilawah kamu bulan ini udah sampai mana?”
Hilmi
sudah bersiap sembunyi dengan menjadikan meja kopi sebagai tamengnya saat Dzaki
datang dengan suara riang sambil membawa laptop.
“Jadi, apa bedanya yang versi extended sama yang di-cut Bang?”
Penulis: Annisa Alya Adzkya
0 Komentar: