Pelita Hati Meredup?
![]() |
source: wallhere.com |
Mengingat orang tua dahulu berkata “kalau sudah berpendidikan ke jenjang yang
tinggi, maka orang itu akan mempunyai status di lingkungan sosialnya”. Kini
kita sudah mulai memasuki abad ke 21, orang-orang sudah berlomba-lomba
menghiasi namanya dengan berbagai gelar yang didapat dari bangku perkuliahan.
Seperti tidak ada batas kalangan, gelar sarjana apapun bisa melekat ke nama kalian
dengan mudah. Berbagai berita dikoran maupun ditelevisi pun menceritakan bahwa
angka kebodohan bergerak kebawah dengan tajam disetiap tahunnya. Sungguh, ini
adalah kemajuan yang pesat dalam SDM (Sumber Daya Manusia) di negeri ini.
Bukan kedamaian atau ketenteraman seperti apa yang diharapkan
orang dahulu datang ke negeri ini. Malah berbagai persoalan dan permasalahan
baru menghiasi disetiap sudut penjuru negeri ini. Semua orang merasa diatas,
orang pintar membodohi orang pintar, semua kepala merasa bahwa isinya telah
benar.
Lampu etika dan adab meredup dihati manusia perlahan-lahan, anak
muda sudah tidak lagi menghormati yang lebih tua darinya. Tidak ada lagi
keharmonisan dalam masyarakat, tidak ada lagi kehangatan dilingkungan sosial. Kini
hati rakyat sudah terbuai gelar pendidikan tinggi mereka sendiri.
Pelita hati berteriak memohon bantuan agar ia tak padam di negeri
tersebut. Namun seluruh manusia di negeri itu sudah terlanjur menutup mata dan
telinga, hingga tidak mendengar jeritan lampu pelita mereka. Berbagai perang
akhirnya muncul menghujani rakyat. Memporak-porandakan negeri dan seisinya.
Bukan letusan perang antar Negara lain, melainkan perperangan melawan ego
masing-masing yang hampir menghilangkan separuh populasi Negara tersebut.
Ini adalah persoalan yang rumit dan kompleks dibandingkan era pada sebelumnya. Pemimpin dan para petinggi negeri tersebut panik saat tersadar bahwa
lampu pelita hendak meninggalkan negeri itu selama-lamanya. Mereka tersadar,
bahwa jika pelita hati mati, ia akan membawa pergi lampu pendidikan dan akan
menyisakan kegelapan sepekat-pekatnya di negeri tersebut.
Akhirnya, penduduk negeri tersebut tersadar bahwa pelita hati harus
dijemput kembali. Bahkan sepanjang apapun gelar melekat pada diri, bukan
berarti ia bisa menerangi negeri ini. Tetap, kembali kepada etika dan adab yang
pemegang kendali nilai bangsa ini.
0 Komentar: