Jilbaber itu eksklusif, katanya…
![]() |
Jilbab dan kita |
Perkembangan
hijab di Ibu Pertiwi mempunyai rangkaian epsiode tersendiri. Dulu pada era 80an masih sedikit
muslimah yang berjilbab. Bahkan di sekolah saat kelulusan muslimah yang
berjilbab harus berfoto memperlihatkan telinganya.
Seiring waktu berjalan dan atas izinNya, pemakaian jilbab
diperbolehkan bukan hanya di sekolah, tapi juga di tingkat perkantoran.
Hingga isu hangat baru-baru ini,
yaitu mengenai Polwan yang berjuang agar mereka
diperbolehkan berhijab ketika bertugas. Alhamdulillah perjuangan mereka membuahkan hasil
dengan diperolehnya ijin dari Kapolri.
Btw,
kenapa ya mereka sangat berusaha memperjuangkan hijab? karena trend jilbab yang tengah ‘in’ kah?
Bukan, tentu tidak sesederhana itu alasannya, justru karena mereka memahami
bahwa hijab adalah wajib dan salah satu bentuk kasih sayang Sang Pencipta pada
wanita.
Segala puji bagi-Nya karena pada saat ini
jilbab tidak lagi menjadi pemandangan yang langka. Dimana-mana mudah kita
jumpai saudari yang manis dengan hijabnya. Hijab yang sesuai tuntunan syari’at
akan menambah kecantikan wanita lho. Di tengah ramainya yang memakai jilbab
kita pun perlu memperhatikan sudah sesuai syar’iat kah hijab kita?. Alur cerita
hijab diikuti pula dengan perkembangan di dunia bisnis, berbagai trend hijab marak mewarnai pasar. Pada
tahun 2010 muncul istilah hijab modis dan ada juga yang
melabel hijabers community dengan
beragam kreativitasnya mereka membuat beragam gaya hijab dan kadang hukum
syar’i diketepikan.
Bukankan Rasulullah berpesan agar kita menyampaikan
walaupun satu ayat dan Allah pun berfirman agar kita saling dalam menasihati
dalam kebaikan dan kesabaran?. Maka, belakangan ini terdengar dengung hijab syar’i, komunitas
para muslimah yang mungkin mulai gerah dengan fashion yang meraja lela berkreasi sesukanya namun menghilangkan nilai-nilai syar'i dari hijab tersebut, sehingga mereka
berusaha mengingatkan dan meng-counter arus
mode ini agar alirannya sejalan dengan syariat.
Sudah tidak
asing lagi bahwa perintah mengenai hijab untuk muslimah dan ketentuannya
terdapat dalam ayat-ayat cinta-Nya QS. Al-Ahzab:59 dan QS. An-Nur:31. Hijab adalah wajib untuk
muslimah dan harus menutup dada, Rasul pun berpesan bahwa jilbab tidak boleh
membentuk seperti punuk unta (sebagaimana trend
sanggul saat ini). Selain itu pakaian tidak boleh tipis serta tidak menampakkan
bentuk tubuh karena muslimah diperintahkan untuk menutup aurat bukan membalut
aurat (ketat).
Banyak juga dari
mereka yang berusaha menutup aurat sesuai syari’at, namun
terkadang timbul kegalauan “aku kan belum
baik-baik amat, ilmuku masih sedikit, sikapku juga gak kemayu, hafalan qur’an masih
sedikit, nanti merusak citra muslimah yang berjilbab rapi gak ya? tapi yaa aku
nyaman berpakaian rapi karena aku merasa telah memenuhi syari’at Illahi.
Tidak dinafikan
bahwa kebanyakan orang menilai seolah muslimah tersebut harus baik, lemah
lembut, ilmunya dalam, hafalan qur’an dan hadisnya banyak serta gak boleh
salah. Wah bagus banget ya doanya. Penilaian ini bisa jadi menimbulkan
kegalauan ketika seorang muslimah ingin berbusana rapi sesuai tuntutan syar’i.
Di sisi lain, ada juga yang
berkomentar bahwa para hijabers gede itu kesannya eksklusif, bukan hanya karena mereka menjaga sikap dan
laku tetapi,
ada juga yang menganggap mereka
selalu berkumpul sesama hijabers gede saja. Di bawah
ini beberapa komentar yang pernah terdengar:
“aku takut
ahh deket sama mbak2 yang jilbaban gede, ngomongnya agama melulu trus ya mereka
mainnya ama yang jilbab gede-gede aja”
“matanya itu lho kalo ngeliatin seolah-olah kita gimanaa gitu, mentang-mentang kita belum jilbaban”
“aku pernah ketemu lho sama mbak2 yang ketus bener ngomongnya, padahal gayanya ustazah”
“matanya itu lho kalo ngeliatin seolah-olah kita gimanaa gitu, mentang-mentang kita belum jilbaban”
“aku pernah ketemu lho sama mbak2 yang ketus bener ngomongnya, padahal gayanya ustazah”
Skenario di atas
pernah didapat dari cerita beberapa rekan, mungkin pembaca pun ada pengalaman
serupa. Bahkan mengutip tulisan di kompasiana yang berbunyi “Hijab Modis adalah sebagai terdakwa,
sedangkan Hijab Besar sebagai si pendakwa. artinya, pihak Hijab Besar selalu
bersikap represif (memojokkan) terhadap kelompok Hijab Modis dengan berbagai
alasan” atau yang ini “mereka menganggap jilbab-nya lah yang paling syar’i,
bahkan mereka menamai dirinya dengan “Komunitas Hijab Syar’I” (http://media.kompasiana.com/new-media/2013/04/19/jilbab-besar-belum-tentu-syari-552604.html#).
Astaghfirullahaladzim, semoga kita sesama muslim tidak disibukkan
untuk saling menyalahkan apalagi menghujat. Mengenai eksklusif, pertama yang ditujukan kepada muslimah yang berjilbab lebar bahwa
mereka seolah tidak boleh salah. Terkadang jika judge positif yang terlalu berlebihan dalam membawa kekecewaan
bahkan celaan ketika realita tak sejalan dengan harapan. Poin terpenting dalam
memakai hijab adalah seorang muslimah memenuhi kewajibannya, menjalankan
perintah RobbNya.
Pada dasarnya
kita menyadari setiap manusia pasti memiliki kekurangan, hanya saja stigma yang saklek mengenai image harus selalu baik kadang dapat
menjadi beban tersendiri. Namun hal ini dapat menjadi eustress (stress positive) yang menjadi motivasi dan doa dalam
usaha untuk terus memperbaiki diri. Apabila ada ukhti yang bersikap ‘salah’
maka adalah kurang bijak jika kita justru menghakimi jilbabnya, bisa jadi ia
lupa atau bahkan tidak menyadari dan tidak bermaksud berbuat demikian.
Eksklusif
seterusnya mengenai para muslimah yang berjilbab besar yang dianggap biasanya
bergaul sesama jilbab besar saja. Sepengetahuan saya mayoritas ukhti yang berjilbab lebar atau jilbaber, welcome kok
berinteraksi sama siapa pun karena Islam menekankan bahwa yang menjadi pembeda
di mata Allah adalah ketaqwaan. Tentunya untuk memilih sahabat kita harus
berpedoman pada sang teladan sepanjang jaman, Rasulullah, bahwa pilihlah
sahabat yang mengingatkan kita pada Illahi sebagaimana hadis beliau bahwa
berteman dengan penjual minyak wangi maka akan tercium wanginya.
Rasulullah sudah
mencontohkan adab bergaul dan menyebarkan kebaikan pun mencegah kemungkaran dengan cara yang
ihsan. Ajaran Islam adalah sempurna, muslim sebagai manusia tentu tidak
sempurna. Oleh karena itu mari kita kembali kepada pemahaman dan ajaran
sebenarnya, yaitu Islam yang sumbernya Alqur’an dan Sunah. Bukan men-judge dari kekurangan manusia apalagi
dari hijab yang sesuai syari’at dan sudah jelas itu merupakan kewajiban seorang
muslimah menjalankannya, mengenai kekurangan yang ada dalam diri tentu diperlukan
proses perbaikan yang berlanjutan. Sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa,
muncul dari iman yang teguh padaNya dan terpancar menjadi akhlaq mulia. So, yuk
jadi muslimah yang eksklusif di hadapan Allah.
Wallahua’lam
Penulis: Khansa
Azzahra
0 Komentar: